Laman

Sabtu, 13 November 2010

Tugas 1 Menggambar Arstektur 1

buat dokumentasi az sih..
ini tugas 1 mata kuliah mengambar arsitektur saya... gara - gara tugas ini dan tugas - tugas yang lain - lainnya juga,,, anak - anak arsitektur semua bermata PANDA,,, hahahha...
padahal awal - awal kuliah,, meski ada ospek dan lain sebagainya,, muka anak - anak arsitek masih seger -seger,, TAPI memasuki bulan ke 2,, semua sudah bermata panda....
tugas 1,,, saya dsuruh menggambar kori agung pura batur,, dari "TITIK" .(sumpah,,ni tangan gempor banget jadinya)....
meski hasilnya kayak ini dan gak masuk kategori bagus,, (maklum gak ada bakat gambar) hehehehe...
langkah2 nya..
1. cetak foto obyek ukuran 10 R dan  fotocopy
2. "blad" fotocopian itu di kertas A2, (kertas sesuai ketentuan)
3. buat sketsa pensil dulu
4. arsir gambar,, fokuskan pada letak bayangan...
5. setelah arsir,, mulailah mentinta (pke rapido) usahakan perhatikan gradasi warna, gelap dan terang...
biasanya tiap langkah pasti harus asistensi dulu ke dosen,,, disetujui sama dosen atau dsuruh ngulang (pas udah ninta tapi dsuruh ulang.. apes banget kalo kayak gtu...)
hasilnya...
karya pertama saya di jurusan arsitektut Universitas Udayana
Fotocopiannya

Ini sket yg 1 setelah ditinta...(dsuruh tebelin sama dosen)



Taraaa... ini karya saya,, setelah di acc sama dsen..
seneng banget dah pokoknya setelah gambar saya di acc, tapi masih ada tgs 2 dan sketsa cpat yang menunggu...arrrghhhh...

Jumat, 17 September 2010

Jenuh !!!

“Vi, lo ngapain aja dari tadi gak nongol-nongol?”
“ke kantin, ngadem buk!, hari gini kok panes amat ya? Gak kerasan gue tinggal di kelas”
“ngeles lo, minta dikit dong…”
“tadi Pak Sutha gimana dikelas? Dikunyah-kunyah lo ya? Gara-gara gak tau gue dimana?”
yang ditanya hanya mengangguk
“udah gue bilang mendingan lo ikut aja bolos bareng gue….”
Tika melotot
“jadi lo pengen gue ikut bolos bareng lo!, biar gue bisa ikut jalan bebek keliling sekolah bareng lo? Bawa temen ke neraka lo, males ah….”
“terserah lo deh… kuping juga kuping lo,”
Tika meringis waktu mengingat kejadian di kantin tadi, Tak pernah sekalipun ia merasa jenuh dengan hal-hal aneh yang dilakukan Novi padanya. Bukannya marah, ia malah takjub melihat keberanian temannya yang begitu menjunjung tinggi kebebasan.
“Duuuaarr…. Ketahuan bengong lo, mati semua ayam tetangga ntar!”
“ngapain lo masuk lagi, kan lo masih kerasan tinggal di kantin… atau lo didepak ma bu kantin ya?”
“sempit banget pikiran lo? Gue masuk kelas, pengen nanya ama lo?”
Tika menatap heran
“apa sich yang lo gak tau…”
Novi ngakak
“banyak…limit-imitan, integral, kesetimbangan asam basa, diferensial, fluida, termodinamika, teori gas kinetic, hidro….”
“udah!!, ampe sore gak abis-abis,,, mau nanya apa lo?”
Muka Novi, mengkerut, ciri ia ingin bicara serius
“menurut lo, gue tuh orangnya gimana?”
“gimana??…gimana maksud lo?”
“gue…kenapa ya gue ngerasa ada di tahap jenuh? Gue bosen segalanya… bosen belajar,, well gue emang jarang belajar, tapi bukan berarti gak pernah… gue bosen dirumah…gue bosen maen bareng temen-temen…gue bosen ama kehidupan gue… gue pengen ngerasaian sesuatu yang baru, tapi gue gak tahu itu apa…kalo lo gimana?”
Tika terdiam sejenak
“gue mungkin gak bisa ngasi solusi terbaik buat lo, tapi gue pernah ngerasa kayak gitu.. sering malah… gue ngerasa bosen segalanya… bosen belajar, bosen jadi anak pendiam, bosen selalu dianggap pinter, bosen nurutin orang tua, bosen sama kehidupan gue, tapi selalu di disana gue sadar,gue lagi ada di tahap kejenuhan, gue kurang motivasi buat hidup, gue kurang keinginan, kurang dorongan buat ngadepin hidup ini. Sekarang, tiap gue ngerasa jenuh, gue inget kalo gue masih punya keluarga, setidaknya orangtua gue makin hari, main tua dan mereka gak akan bisa selamanya kerja buat ngidupin gue, jadi gue akan berusaha semampu gue biar gue bisa jadi orang sukses yang mampu ngidupin mereka di hari tua mereka. Tiap inget hal itu, semangat gue balik lagi, malahan gue tambah semangat, tambah rajin, tambah nurut, pokoknya gue ngerasain tantangannya kehidupan”
Novi merenung lama, memikirkan apa yang telah dikatakan sahabatnya. “Tapi motivasi gue apa?apa yang bisa membuat gue semangat lagi?” batinnya
Melihat Novi diam, Tika melanjutkan
“….sorry, gue ngomong terlalu banyak… tapi menurut gue, mungkin lo bisa coba memotivasi diri lo sendiri, sayangi diri lo dulu… lo tiap hari begadang gak karuan, gak mau belajar, ketagihan ngerokok gak ketulungan, kebut-kebutan gak jelas… jujur kalo gue jadi diri lo, gue pasti berontak, gue pasti pengen diperlakukan lebih baik ... lo juga kan? Mau lo tiap hari dicucukin ma asap rokok terus?”
“bener juga yang lo bilang. Ok deh, gue bakal coba buat ngerubah sedikit kebiasaan gue. Tapi siapa bilang gue ngerokok tiap hari?gue ngerokok kalo gue lagi pengen aza kok, dan satu lagi, gue gak ketagihan kayak yang lo bilang…”
“udah-udah, bel udah bunyi, ke lab yuk!”
“ tapi ini kan pelajarannya Bu Ati?males ah, gue ke kantin a…”
Dengan cepat Tika menyeret Novi menuju laboratorium
“katanya mau berubah?”
“owww…please deh!!!!”

Februuari Titipan

“bagaimana ini bu? Di telapak kaki anak ibu ada tanda merah darah?” tanya sang suami
“saya tidak tahu pak? Apa perlu kita bawa ke Pak Suramsi?” sahut sang istri pasrah, namun tanpa mereka sadari orang yang dimaksud telah berdiri di samping mereka sembari berkata “tidak perlu repot-repot Bu, saya telah mendengar berita ini” sambil sibuk melihat jemari mungil bayi perempuan itu. Sesaat kemudian matanya menyiratkan keterkejutan sambil menjauh ia berkata “anak ini pembawa malapetaka Bu, tak boleh dibiarkan berkeliaran. Setan – setan berlutut di telapak kakinya Bu”. Mendengar hal tersebut sang ibu lantas tak sadarkan diri.
Aku tak tahu, semua ini berawal dari mana. Yang kutahu, salah jika Tuhan menginginkannya berbahagia di sini. Keadilan tak pernah berpihak padanya selama 17 tahun ini. Ibunya bukan seorang ibu yang patut disembah kakinya, ayahnya bukanlah seorang ayah yang akan dibaktininya. Mereka semua iblis yang merasuk di tubuh kedua orangtuanya. Iblis yang selama 17 tahun ini menyiksanya tanpa belas kasih.
Saat itu hari sudah gelap, namun seorang laki – laki tua bertongkat membawa sebuah buku, datang ke sebuah ruangan kecil yang terpisah dari rumah utama , keadaan ruangan ini sungguh memprihatinkan, tak seperti rumah utama yang terkesan mewah dan antik, ruangan yang hanya berukuran kira – kira 2 x 3 m terlihat seperti rumah angker tak berpenghuni. Sangat gelap untuk ukuran manusia biasa, tak ada jendela maupun penerangan yang bisa menerangi ruangan ini. Saat itulah aku melihat gadis itu termangu di pojok ruangan. Keadaanya sungguh membuat hatiku miris. Penampilannya tak terkatakan, kuku – kuku jarinya panjang dan tak beraturan, rambutnya mencuat – cuat ke mana – mana. Aku ngeri membayangannya hidup disini dengan rantai dan besi bulat tua terikat di tangannya. Bagaimana mungkin ia bisa bergerak sedangkan benda – benda itu membelitnya seperti ular?. Laki – laki tua ini meninggalkanku begitu saja lantas dengan lembut menyentuh wajah gadis menyeramkan itu.
“Feb, kakek datang ke sini membawakanku sesuatu, kamu suka kan?” kudengar laki – laki tua itu berkata. Meski sekejap aku melihat anggukan lemah gadis itu. Mulai timbul sedikit rasa iba dalam diriku.
Setelah berbicara sebentar dengan Februari, sang Kakek meninggalkan ruangan suram itu dan meninggalkanku disana. Mulai hari itulah aku mengenalnya, Februari gadis yang telah dipasung kelurganya selama 17 tahun ini. Gadis yang tak pernah mendapatkan keadilan selama ini. Ia melihatku dan tersenyum, tangannya bergerak sedikit demi sedikit menyentuhku, saat itu aku mengamati wajahnya. Wajahnya sebenarnya cantik hanya saja ketidakterawatannya yang membuatnya terlihat menyeramkan. Hari demi hari selanjutnya kulalui bersamanya, ia sangat pendiam, namun seringkali kulihat ia menangis dalam diam. Februari menumpahkan semuanya padaku, dan aku dengan senang hati menerimanya. Ia gadis yang cukup cerdas, terkadang ia menggambarkan ketakutannya dan penderitaanya padaku. Semakin hari aku semakin mengenalnya. Februari yang kesepian, Februari yang menderita dan Februari yang cerdas. Aku tahu tak ada seorangpun yang dapat mengerti dirinya selain diriku.
Setiap pagi, ada saja pembantu rumah tangga yang membawakan sepiring nasi untuknya. Disambutnya piring nasi tersebut dengan rakus. Mungkin karena tidak ada yang mengajarinya atau apa sajalah, kulihat ia makan seperti anjing yang kelaparan.
Suatu hari seorang wanita separuh baya mendatanginya. Wanita tersebut kukenal sebagai nyonya anggun di rumah utama, namun kini aku melihatnya menangis di depan gadis itu. Ia kini terlihat 7 tahun lebih tua daripada umurnya. Semakin aku mengenal Februari, semakin aku penasaran, mengapa ketidakadilan melekat sempurna di badannya hingga membawa penderitaan tak terlukiskan padanya. Sungguh gadis malang!
Saat itu pertengahan bulan Januari, kudengar suara rebut di luar sana.
“boleh saya tahu namanya Pak?” tanya seseorang yang tak kukenal suaranya.
“Februari… Ia begini sudah sejak umur 3 tahun. Gangguan saraf kata dokter, sebenarnya kami ingin merawatnya di rumah sakit, namun ia melakukan sesuatu yang gila di sana. Ia hampir membunuh suster yang merawatnya. Jadi kami memutusan untuk memasungnya saja. Maklum Pak, sudah tak ada pilihan lain” jawab lelaki yang kukenal sebagai Tuan pemilik rumah utama.
“apakah bapak tidak pernah mencoba untuk mengobatinya, dengan pengobatan alternative misalnya” tanya seseorang yang sepertinya pencari berita.
Sesaat semua terdiam, namun tak lama kemudian suara nyonya terdengar “ kami sudah berusaha semampu kami untuk mengobatinya, namun respek yang ia berikan tidak bagus sehingga orang – orang segan untuk berdekatan dengannya”.
Dasar munafik! “Aku tahu apa yang telah terjadi disini. Semua yang kalian katakan bohongkan? Ia berada disini bukan karena ia gila tetapi karena kalian yang mengurungnya disini selama 17 tahun. Hanya karena ia diramalkan akan membawa malapetaka bagi keluarga kalian. Sebenarnya bukan Februari yang iblis, tetapi kalian semua. Kalian cuma bisa berlindung dibalik nama baik kalian. Februari gadis yang cerdas, bukan gadis yang gila seperti yang kalian katakan. Ia masih waras, namun ia mengalami trauma dan depresi akibat ulah kalian. Kalian memperlakukannya seperti binatang.” Aku sangat – sangat menyesal kalimat – kalimat itu tak bisa keluar dari mulutku dan tetap menjadi kenyataan beku yang hanya diketahui keluarganya dan aku.
Kala itu akhir bulan februari, aku sangat cemas karena Februari tiba – tiba sakit panas. Tak ada yang tahu karena semua keluarga berlibur ke Bali. Sedangkan pembantu sedang pulang kampung, Februari begini karena setahuku ia sudah tidak makan lima hari. Saat itu adalah saat yang tak terlupakan bagiku. Saat rintihannya menegakkan bulu kudukku. Sambil memelukku ia berkata “Tuhan, ampuni semua kesalahanku”. Ia mengatakannya dengan jelas dan lantang. Sedetk kemudian ia lemas dan jatuh ke lantai. Teriakanku dibungkam ketidakmampuanku untuk menolongnya.
Hari demi hari kutunggu kedatangan keluarganya. Berbulan – bulan kemudian aku mendengar bahwa keluarganya semua sudah pindah ke Bali, meninggalkannya seorang diri. Aku terenyuh melihat kenyataan ini. Meski jenasahnya membusuk dimakan ulat, belatung dan tikus. Aku tetap setia mendampinginya. Mendampingi sahabatku yang tak pernah mendapat keadilan dalam hidupnya. Disini, di ruangan ini aku menyaksikan perubahan dirinya, dari seorang manusia yang bertubuh sempurna menjadi tulang belulang yang hanya menjadi makanan anjing liar. Aku bersyukur Tuhan telah menitipkan Februari dalam lembaran – lembaranku. Semoga Tuhan memberikan kehidupan yang lebih baik kepada Februari di masa mendatang. Sesaat kulihat ia tersenyum padaku dari balik awan sambil mengucapkan terima kasih. Dan aku tahu Februari bahagia disana.
Bertahun – tahun kemudian, seorang gadis kecil memungutku dan membuka lembaran – lembaran dalam diriku. Dalam buku bertuliskan “FEBRUARI TITIPAN”.

daftar isi

daftar isi:
1. cover
2. salam redaksi, box redaksi, daftar isi
3. tajuk rencana
4-5. laporan utama
6. laporan khusus
7. opini
8. laporan khusus
9. profil
10. resensi
11. rubrik bebas
12. rubrik fotografi

bwd tabloid


nih dah aku kasi linknya... download disini az...

Senin, 13 September 2010

Sekali lagi mata tua itu mengoyakku
Menghujamkan kembali silet - silet yang mengiris nadiku
Membuatku jatuh lemah dan membisu
Membuat tubuhku kembali kembali berlutut dan patuh
meninggalkan semangat dan hayal yang berkoar - koar di ekor benak

Selasa, 31 Agustus 2010

Cerpen "Sebuah Ginjal"

Silau sinar matahari terpantul di permukaan air, bayang – bayang yang semakin membuatku gelisah. Ini sudah lewat satu jam, bathinku. Aku menantinya, namun tak kunjung kutemukan dirinya. Lelah, separuh hari telah kulalui tanpa kegiatan yang berarti, hanya menunggunya disini. Apa yang harus kulakukan?.
Seminggu yang lalu, ia datang kembali ke kampung ini setelah 5 tahun tak berjumpa denganku, hanya tatapan matanya saja yang menyiratkan kerinduannya padaku. Kembali dari kota besar yang telah mendidiknya menjadi orang yang besar. Status dokter yang disandangnya membuat setiap orang disini membinar – binarkan mata mereka. Maklum kami disini rakyat miskin, jangankan untuk menyekolahkan anak sampai sarjana, untuk hidup pun kami terlunta – lunta. Tapi tampaknya, Tuhan berpihak padanya karena beasiswa yang didapatnya sejak SMP mampu membuatnya menjadi seperti sekarang.
Namun hari pertama kedatangannya, sudah banyak orang yang berobat ke klinik kecilnya, hingga tidak sempat untuk pulang satu haripun. Ini tak bisa dipungkiri karena kondisi cuaca yang membawa penyakit. Belum sempat aku sepenuhnya terbangun dari lamunanku, sesuatu yang janggal mengagetkanku. “cepat,,,cepat!” bisik seseorang. Aku tak mengerti, namun refleks aku menyingkir dan menyembunyikan tubuhku di balik semak – semak. Kulihat 2 orang lelaki tak kukenal sedang membopong seorang lelaki yang masih muda, kira – kira 29 tahun. Mereka bergegas, herannya aku mengenali lelaki muda itu, dia warga kampung seberang yang sudah seminggu ini tiba – tiba menghilang. Ada apa ini? pikirku. Ketakutan mulai menguasai pancaindraku dan membuat sekujur tubuhku kaku. Aku panic karena tak bisa menguasainya.
Lama, sangat lama aku menunggu disini, menunggu semua saraf – saraf dan otot – otot ku untuk kembali bekerja seperti semula. Namun telingaku masih dapat menangkap getaran – getaran suara antara kedua lelaki itu. Entah berapa lama aku meringkuk di semak – semak seperti itu. Kusingkapkan dedaunan yang menyelimutiku, bergegas aku menghampirinya “hey,,hey,,bangun, sadarlah”,bisikku sembari tanpa sadar melayangkan mataku pada sisi dadanya yang telanjang, ada bentuk luka pada bagian kiri tubuhnya. Luka yang tampaknya baru. Tanpa terduga ternyata dia sudah sadar, mengerjap – kerjapkan matanya seolah – olah ia silau padahal sinar matahai tertutum pohon – pohon. “aku ada di mana? Kau sedang apa disini?,” tanyanya beruntun.
Sudah 2 purnama aku lewati sejak kejadian itu. Banyak yang telah terjadi, salah satunya kematian pemuda itu. Kira – kira 5 hari yang lalu aku melayat kesana. Kasihan, padahal ia adalah tulang punggung keluarganya. Namun aku masih saja penasaran, sedikit ada penyesalan dalam diriku atas kebodohanku. Seandainya aku pintar, aku pasti sudah tahu apa yang telah terjadi pada pemuda itu.
Hari ini kampung kami kedatangan seorang mahasiswi yang masih muda, Ria namanya. Parasnya cantik, tingkah lakunya pun halus. Pokoknya semua orang di kampung ini terpikat padanya, sayangnya ia disini hanya 1 bulan, mengerjakan tugas akhirnya. Untuk sementara, Ria tinggal di rumahku, maklum semua rumah padat berisi, hanya rumahku saja yang kosong melompong karena dia yang kutunggu lebih memilih tinggal di kliniknya.
“Nak Ria, silahkan duduk, ini rumah Ibu yang sederhana, semoga nak Ria nyaman di sini”, kataku sambil membersihkan dipan dari debu – debu setebal cm. Aku merasakan tatapannya aneh terhadapku, entahlah, batinku.
“terima kasih Bu, sudah menampung saya disini, maaf jika saya akan mrepotkan ibu”, katanya sambil menyelipkan 3 lembar uang seratus ribuan ke tanganku. aku kaget bukan main. “ibu mengajakmu tinggal disini bukan untuk keuntungan semata Ria, tapi ibu ikhlas, karena ibu kesepian”, isakku sedih. Ria seakan – akan tak berani menyentuhku saat ku terisak – isak di lantai tanah ini. Aku tahu ia takut melihatku. Sudahlah, pikirku.
Hilangnya warga di kampungku yang semula kukira iseng belaka berubah menjadi bencana. Satu persatu warga usia produktif menghilang, kemudian muncul kembali 3 – 7 hari kemudian. Tak ada yang berbeda dari tingkah laku mereka, hanya saja mereka tampak lebih lemah daripada sebelumnya dan yang membuatku terpana semuanya memiliki bekas luka di perut bagian kiri, entah itu luka bekas apa, tapi tampaknya masih baru. Akhirnya satu persatu dari mereka mati lemas, tanpa ada yang tahu penyebabnya. Dia yang kutunggu hanya mengatakan ini wabah yang menyerang kampung ini. Kini para warga kampung ini, utamanya yang masih poduktif memilih menetap di rumah atau pergi ke luar kampung ini. Aku tak yakin alasannya, namun tampaknya terjadi simpang siur berita tentang adanya wabah mematikan di desaku.
Malam ini malam purnama, namun suasana kampung ini lebih mencekam daripada yang sudah – sudah. Aku mendengar sesuatu yang janggal dari luar, ketakutanku dikunci oleh keingintahuanku. Secara tak sengaja 2 lelaki melintas di depanku. Aku tak sempat melihat apapun karena tiba – tiba aku menjadi lemas dan semuanya gelap……
“apa yang harus kita lakukan dengan wanita ini?”
“kita perlakukan dia seperti yang lain, lagipula umurnya menjelang tidak produktif lagi. Hanya akan menambah satu mayat saja, tidak masalahkan?”
“apa kau yakin? Ia tampak berbahaya? Bagaimana dengan gadis kota ini?”
“kita perlakukan semua seperti biasa, seperti yang sudah – sudah. Jika tidak, tuan bisa marah”
Aku tak tahu sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku tak tahu ini siang atau malam, mataku tak bisa beradaptasi disini, tetapi kulitku mengatakan aku berada di tempat yang lembab namun gelap. Telingaku berkonsentrasi mendengar sepenggal kalimat lelaki itu, tanpa kusadari, mataku mulai dapat menyesuaikan diri. Aku tahu aku berada di suatu gua yang basah, tubuhku terikat, namun karena tangnku licin kena cipratan air, aku dapat melepaskan diri dengan mudah. Tiba – tiba telingaku menangkap suara – suara janggal. Dengan nekat aku mencari sumber suara tersebut. Perlahan namun pasti aku merayap sedikit demi sedikit menuju ujung gua, yang kutahu tempat semua misteri ini akan terjawab.
Apakah aku sanggup berkata?, mestikah aku melihat?, haruskan aku mendengar?hal ini sungguh di luar batas kenyataan bagiku. Saat aku sampai di ujung gua, hal pertama yang kulihat adalah seorang gadis yang kutahu itu Ria, sedang berbaring di atas sebuah dipan putih. Mukanya pucat, namun matanya terpejam. Dan … Oh tuhan perutnya bersimbah darah. Aku ingin berteriak, namun aku tahu itu hal tertolol yang akan kulakukan. Perlahan kulayangkan pandanganku ke seseorang yang sedang mencabik – cabik tubuh Ria. Mus..mustahil, batinku terbata – bata. Ia lelaki yang selama ini kutunggu. Lelaki tumpuan hidupku.
“akhirnya target pemasaran kita berhasil juga, ini ginjal yang pas, aku sudah mencocokannya. Akhirnya, kita bisa memenuhi permintaan mereka”, katanya bangga. “apakah anda yakin” , tanya seseorang. “pasti, aku sangat yakin”, sahutnya sambil tersenyum melampiskan rasa bangganya. Tak bisa kulukiskan senyumannya yang selama ini kurindukkan. Senyumannya yang telah merenggut sebagian jiwa dari gadis yang tak berdosa. Gadis yang lugu dan juga para warga di kampungku.
Aku mengerti apa yang dilakukannya. Mencuri ginjal masyarakat di kampung, membuat mereka tidak tahu apa – apa dan tetap melaksanakan pekerjaan – pekerjaan berat seperti biasanya. Membuat mereka tidak menyadari mereka telah menjadi seseorang yang cacat. Membuat mereka kehilangan nyawa mereka secara perlahan dan menderita. Semua itu, dilakukannya dengan senyuman, hanya untuk kepuasannya sendiri. Oh Tuhan harus seperti itukah dia?
Aku tak menyadari seseorang dibelakangku yang menyergapku secara tiba – tiba. Aku merasa pusing sejenak dan akhirnya hilnag kesadaran. Sebelum kesadaranku hilang, samar – samar aku mendengar teriakannya.
“ibu,,,ibu bangun Bu?”
“jadi ini ibumu?”
“ya”jawabnya lesu,
“jadikan dia donor” perintah seseorang.
Aku sadar sejenak, rupanya Tuhan memberiku kesempatan untuk dapat berbincang – bincang dengannya. Aku melihatnya menatapku nanar, matanya merah. “ibu”, panggilnya sedih. Hatiku miris mendengarnya. “maafkan aku bu, aku tak bisa melawan, aku tak bisa berbuat apa – apa”isaknya. “maafkan kau bu, aku tak bisa menyelamatkan nyawa orang, aku malah mengambilnya bu…maafkan aku bu”.
“nak” jawabku sedikit terbata bata. Aku merasakan nyeri di tenggorokanku. “kau anakku yang tersayang, anakku Reza,,,anak kebanggaanku, kembalilah nak…”.
3 hari kemudian,
Di sebuah surat kabar lokal, ada sebuah berita yang menjadi deadline besar – besar.
“Pratik Perdagangan Ginjal Ilegal Dibekuk”
Di sebuah sudut rumah yang kecil dan mungil, Reza duduk bersama Ria yang memanjakan seorang wanita 35 tahun. Wanita itu membelai kepala Reza, memandangi anak kesayangannya. Tatapan matanya mengiringi kepergian Reza dengaN borgol di tangannya.

Cari Blog Ini