“bagaimana ini bu? Di telapak kaki anak ibu ada tanda merah darah?” tanya sang suami
“saya tidak tahu pak? Apa perlu kita bawa ke Pak Suramsi?” sahut sang istri pasrah, namun tanpa mereka sadari orang yang dimaksud telah berdiri di samping mereka sembari berkata “tidak perlu repot-repot Bu, saya telah mendengar berita ini” sambil sibuk melihat jemari mungil bayi perempuan itu. Sesaat kemudian matanya menyiratkan keterkejutan sambil menjauh ia berkata “anak ini pembawa malapetaka Bu, tak boleh dibiarkan berkeliaran. Setan – setan berlutut di telapak kakinya Bu”. Mendengar hal tersebut sang ibu lantas tak sadarkan diri.
Aku tak tahu, semua ini berawal dari mana. Yang kutahu, salah jika Tuhan menginginkannya berbahagia di sini. Keadilan tak pernah berpihak padanya selama 17 tahun ini. Ibunya bukan seorang ibu yang patut disembah kakinya, ayahnya bukanlah seorang ayah yang akan dibaktininya. Mereka semua iblis yang merasuk di tubuh kedua orangtuanya. Iblis yang selama 17 tahun ini menyiksanya tanpa belas kasih.
Saat itu hari sudah gelap, namun seorang laki – laki tua bertongkat membawa sebuah buku, datang ke sebuah ruangan kecil yang terpisah dari rumah utama , keadaan ruangan ini sungguh memprihatinkan, tak seperti rumah utama yang terkesan mewah dan antik, ruangan yang hanya berukuran kira – kira 2 x 3 m terlihat seperti rumah angker tak berpenghuni. Sangat gelap untuk ukuran manusia biasa, tak ada jendela maupun penerangan yang bisa menerangi ruangan ini. Saat itulah aku melihat gadis itu termangu di pojok ruangan. Keadaanya sungguh membuat hatiku miris. Penampilannya tak terkatakan, kuku – kuku jarinya panjang dan tak beraturan, rambutnya mencuat – cuat ke mana – mana. Aku ngeri membayangannya hidup disini dengan rantai dan besi bulat tua terikat di tangannya. Bagaimana mungkin ia bisa bergerak sedangkan benda – benda itu membelitnya seperti ular?. Laki – laki tua ini meninggalkanku begitu saja lantas dengan lembut menyentuh wajah gadis menyeramkan itu.
“Feb, kakek datang ke sini membawakanku sesuatu, kamu suka kan?” kudengar laki – laki tua itu berkata. Meski sekejap aku melihat anggukan lemah gadis itu. Mulai timbul sedikit rasa iba dalam diriku.
Setelah berbicara sebentar dengan Februari, sang Kakek meninggalkan ruangan suram itu dan meninggalkanku disana. Mulai hari itulah aku mengenalnya, Februari gadis yang telah dipasung kelurganya selama 17 tahun ini. Gadis yang tak pernah mendapatkan keadilan selama ini. Ia melihatku dan tersenyum, tangannya bergerak sedikit demi sedikit menyentuhku, saat itu aku mengamati wajahnya. Wajahnya sebenarnya cantik hanya saja ketidakterawatannya yang membuatnya terlihat menyeramkan. Hari demi hari selanjutnya kulalui bersamanya, ia sangat pendiam, namun seringkali kulihat ia menangis dalam diam. Februari menumpahkan semuanya padaku, dan aku dengan senang hati menerimanya. Ia gadis yang cukup cerdas, terkadang ia menggambarkan ketakutannya dan penderitaanya padaku. Semakin hari aku semakin mengenalnya. Februari yang kesepian, Februari yang menderita dan Februari yang cerdas. Aku tahu tak ada seorangpun yang dapat mengerti dirinya selain diriku.
Setiap pagi, ada saja pembantu rumah tangga yang membawakan sepiring nasi untuknya. Disambutnya piring nasi tersebut dengan rakus. Mungkin karena tidak ada yang mengajarinya atau apa sajalah, kulihat ia makan seperti anjing yang kelaparan.
Suatu hari seorang wanita separuh baya mendatanginya. Wanita tersebut kukenal sebagai nyonya anggun di rumah utama, namun kini aku melihatnya menangis di depan gadis itu. Ia kini terlihat 7 tahun lebih tua daripada umurnya. Semakin aku mengenal Februari, semakin aku penasaran, mengapa ketidakadilan melekat sempurna di badannya hingga membawa penderitaan tak terlukiskan padanya. Sungguh gadis malang!
Saat itu pertengahan bulan Januari, kudengar suara rebut di luar sana.
“boleh saya tahu namanya Pak?” tanya seseorang yang tak kukenal suaranya.
“Februari… Ia begini sudah sejak umur 3 tahun. Gangguan saraf kata dokter, sebenarnya kami ingin merawatnya di rumah sakit, namun ia melakukan sesuatu yang gila di sana. Ia hampir membunuh suster yang merawatnya. Jadi kami memutusan untuk memasungnya saja. Maklum Pak, sudah tak ada pilihan lain” jawab lelaki yang kukenal sebagai Tuan pemilik rumah utama.
“apakah bapak tidak pernah mencoba untuk mengobatinya, dengan pengobatan alternative misalnya” tanya seseorang yang sepertinya pencari berita.
Sesaat semua terdiam, namun tak lama kemudian suara nyonya terdengar “ kami sudah berusaha semampu kami untuk mengobatinya, namun respek yang ia berikan tidak bagus sehingga orang – orang segan untuk berdekatan dengannya”.
Dasar munafik! “Aku tahu apa yang telah terjadi disini. Semua yang kalian katakan bohongkan? Ia berada disini bukan karena ia gila tetapi karena kalian yang mengurungnya disini selama 17 tahun. Hanya karena ia diramalkan akan membawa malapetaka bagi keluarga kalian. Sebenarnya bukan Februari yang iblis, tetapi kalian semua. Kalian cuma bisa berlindung dibalik nama baik kalian. Februari gadis yang cerdas, bukan gadis yang gila seperti yang kalian katakan. Ia masih waras, namun ia mengalami trauma dan depresi akibat ulah kalian. Kalian memperlakukannya seperti binatang.” Aku sangat – sangat menyesal kalimat – kalimat itu tak bisa keluar dari mulutku dan tetap menjadi kenyataan beku yang hanya diketahui keluarganya dan aku.
Kala itu akhir bulan februari, aku sangat cemas karena Februari tiba – tiba sakit panas. Tak ada yang tahu karena semua keluarga berlibur ke Bali. Sedangkan pembantu sedang pulang kampung, Februari begini karena setahuku ia sudah tidak makan lima hari. Saat itu adalah saat yang tak terlupakan bagiku. Saat rintihannya menegakkan bulu kudukku. Sambil memelukku ia berkata “Tuhan, ampuni semua kesalahanku”. Ia mengatakannya dengan jelas dan lantang. Sedetk kemudian ia lemas dan jatuh ke lantai. Teriakanku dibungkam ketidakmampuanku untuk menolongnya.
Hari demi hari kutunggu kedatangan keluarganya. Berbulan – bulan kemudian aku mendengar bahwa keluarganya semua sudah pindah ke Bali, meninggalkannya seorang diri. Aku terenyuh melihat kenyataan ini. Meski jenasahnya membusuk dimakan ulat, belatung dan tikus. Aku tetap setia mendampinginya. Mendampingi sahabatku yang tak pernah mendapat keadilan dalam hidupnya. Disini, di ruangan ini aku menyaksikan perubahan dirinya, dari seorang manusia yang bertubuh sempurna menjadi tulang belulang yang hanya menjadi makanan anjing liar. Aku bersyukur Tuhan telah menitipkan Februari dalam lembaran – lembaranku. Semoga Tuhan memberikan kehidupan yang lebih baik kepada Februari di masa mendatang. Sesaat kulihat ia tersenyum padaku dari balik awan sambil mengucapkan terima kasih. Dan aku tahu Februari bahagia disana.
Bertahun – tahun kemudian, seorang gadis kecil memungutku dan membuka lembaran – lembaran dalam diriku. Dalam buku bertuliskan “FEBRUARI TITIPAN”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar