Laman

Selasa, 31 Agustus 2010

Cerpen "Sebuah Ginjal"

Silau sinar matahari terpantul di permukaan air, bayang – bayang yang semakin membuatku gelisah. Ini sudah lewat satu jam, bathinku. Aku menantinya, namun tak kunjung kutemukan dirinya. Lelah, separuh hari telah kulalui tanpa kegiatan yang berarti, hanya menunggunya disini. Apa yang harus kulakukan?.
Seminggu yang lalu, ia datang kembali ke kampung ini setelah 5 tahun tak berjumpa denganku, hanya tatapan matanya saja yang menyiratkan kerinduannya padaku. Kembali dari kota besar yang telah mendidiknya menjadi orang yang besar. Status dokter yang disandangnya membuat setiap orang disini membinar – binarkan mata mereka. Maklum kami disini rakyat miskin, jangankan untuk menyekolahkan anak sampai sarjana, untuk hidup pun kami terlunta – lunta. Tapi tampaknya, Tuhan berpihak padanya karena beasiswa yang didapatnya sejak SMP mampu membuatnya menjadi seperti sekarang.
Namun hari pertama kedatangannya, sudah banyak orang yang berobat ke klinik kecilnya, hingga tidak sempat untuk pulang satu haripun. Ini tak bisa dipungkiri karena kondisi cuaca yang membawa penyakit. Belum sempat aku sepenuhnya terbangun dari lamunanku, sesuatu yang janggal mengagetkanku. “cepat,,,cepat!” bisik seseorang. Aku tak mengerti, namun refleks aku menyingkir dan menyembunyikan tubuhku di balik semak – semak. Kulihat 2 orang lelaki tak kukenal sedang membopong seorang lelaki yang masih muda, kira – kira 29 tahun. Mereka bergegas, herannya aku mengenali lelaki muda itu, dia warga kampung seberang yang sudah seminggu ini tiba – tiba menghilang. Ada apa ini? pikirku. Ketakutan mulai menguasai pancaindraku dan membuat sekujur tubuhku kaku. Aku panic karena tak bisa menguasainya.
Lama, sangat lama aku menunggu disini, menunggu semua saraf – saraf dan otot – otot ku untuk kembali bekerja seperti semula. Namun telingaku masih dapat menangkap getaran – getaran suara antara kedua lelaki itu. Entah berapa lama aku meringkuk di semak – semak seperti itu. Kusingkapkan dedaunan yang menyelimutiku, bergegas aku menghampirinya “hey,,hey,,bangun, sadarlah”,bisikku sembari tanpa sadar melayangkan mataku pada sisi dadanya yang telanjang, ada bentuk luka pada bagian kiri tubuhnya. Luka yang tampaknya baru. Tanpa terduga ternyata dia sudah sadar, mengerjap – kerjapkan matanya seolah – olah ia silau padahal sinar matahai tertutum pohon – pohon. “aku ada di mana? Kau sedang apa disini?,” tanyanya beruntun.
Sudah 2 purnama aku lewati sejak kejadian itu. Banyak yang telah terjadi, salah satunya kematian pemuda itu. Kira – kira 5 hari yang lalu aku melayat kesana. Kasihan, padahal ia adalah tulang punggung keluarganya. Namun aku masih saja penasaran, sedikit ada penyesalan dalam diriku atas kebodohanku. Seandainya aku pintar, aku pasti sudah tahu apa yang telah terjadi pada pemuda itu.
Hari ini kampung kami kedatangan seorang mahasiswi yang masih muda, Ria namanya. Parasnya cantik, tingkah lakunya pun halus. Pokoknya semua orang di kampung ini terpikat padanya, sayangnya ia disini hanya 1 bulan, mengerjakan tugas akhirnya. Untuk sementara, Ria tinggal di rumahku, maklum semua rumah padat berisi, hanya rumahku saja yang kosong melompong karena dia yang kutunggu lebih memilih tinggal di kliniknya.
“Nak Ria, silahkan duduk, ini rumah Ibu yang sederhana, semoga nak Ria nyaman di sini”, kataku sambil membersihkan dipan dari debu – debu setebal cm. Aku merasakan tatapannya aneh terhadapku, entahlah, batinku.
“terima kasih Bu, sudah menampung saya disini, maaf jika saya akan mrepotkan ibu”, katanya sambil menyelipkan 3 lembar uang seratus ribuan ke tanganku. aku kaget bukan main. “ibu mengajakmu tinggal disini bukan untuk keuntungan semata Ria, tapi ibu ikhlas, karena ibu kesepian”, isakku sedih. Ria seakan – akan tak berani menyentuhku saat ku terisak – isak di lantai tanah ini. Aku tahu ia takut melihatku. Sudahlah, pikirku.
Hilangnya warga di kampungku yang semula kukira iseng belaka berubah menjadi bencana. Satu persatu warga usia produktif menghilang, kemudian muncul kembali 3 – 7 hari kemudian. Tak ada yang berbeda dari tingkah laku mereka, hanya saja mereka tampak lebih lemah daripada sebelumnya dan yang membuatku terpana semuanya memiliki bekas luka di perut bagian kiri, entah itu luka bekas apa, tapi tampaknya masih baru. Akhirnya satu persatu dari mereka mati lemas, tanpa ada yang tahu penyebabnya. Dia yang kutunggu hanya mengatakan ini wabah yang menyerang kampung ini. Kini para warga kampung ini, utamanya yang masih poduktif memilih menetap di rumah atau pergi ke luar kampung ini. Aku tak yakin alasannya, namun tampaknya terjadi simpang siur berita tentang adanya wabah mematikan di desaku.
Malam ini malam purnama, namun suasana kampung ini lebih mencekam daripada yang sudah – sudah. Aku mendengar sesuatu yang janggal dari luar, ketakutanku dikunci oleh keingintahuanku. Secara tak sengaja 2 lelaki melintas di depanku. Aku tak sempat melihat apapun karena tiba – tiba aku menjadi lemas dan semuanya gelap……
“apa yang harus kita lakukan dengan wanita ini?”
“kita perlakukan dia seperti yang lain, lagipula umurnya menjelang tidak produktif lagi. Hanya akan menambah satu mayat saja, tidak masalahkan?”
“apa kau yakin? Ia tampak berbahaya? Bagaimana dengan gadis kota ini?”
“kita perlakukan semua seperti biasa, seperti yang sudah – sudah. Jika tidak, tuan bisa marah”
Aku tak tahu sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku tak tahu ini siang atau malam, mataku tak bisa beradaptasi disini, tetapi kulitku mengatakan aku berada di tempat yang lembab namun gelap. Telingaku berkonsentrasi mendengar sepenggal kalimat lelaki itu, tanpa kusadari, mataku mulai dapat menyesuaikan diri. Aku tahu aku berada di suatu gua yang basah, tubuhku terikat, namun karena tangnku licin kena cipratan air, aku dapat melepaskan diri dengan mudah. Tiba – tiba telingaku menangkap suara – suara janggal. Dengan nekat aku mencari sumber suara tersebut. Perlahan namun pasti aku merayap sedikit demi sedikit menuju ujung gua, yang kutahu tempat semua misteri ini akan terjawab.
Apakah aku sanggup berkata?, mestikah aku melihat?, haruskan aku mendengar?hal ini sungguh di luar batas kenyataan bagiku. Saat aku sampai di ujung gua, hal pertama yang kulihat adalah seorang gadis yang kutahu itu Ria, sedang berbaring di atas sebuah dipan putih. Mukanya pucat, namun matanya terpejam. Dan … Oh tuhan perutnya bersimbah darah. Aku ingin berteriak, namun aku tahu itu hal tertolol yang akan kulakukan. Perlahan kulayangkan pandanganku ke seseorang yang sedang mencabik – cabik tubuh Ria. Mus..mustahil, batinku terbata – bata. Ia lelaki yang selama ini kutunggu. Lelaki tumpuan hidupku.
“akhirnya target pemasaran kita berhasil juga, ini ginjal yang pas, aku sudah mencocokannya. Akhirnya, kita bisa memenuhi permintaan mereka”, katanya bangga. “apakah anda yakin” , tanya seseorang. “pasti, aku sangat yakin”, sahutnya sambil tersenyum melampiskan rasa bangganya. Tak bisa kulukiskan senyumannya yang selama ini kurindukkan. Senyumannya yang telah merenggut sebagian jiwa dari gadis yang tak berdosa. Gadis yang lugu dan juga para warga di kampungku.
Aku mengerti apa yang dilakukannya. Mencuri ginjal masyarakat di kampung, membuat mereka tidak tahu apa – apa dan tetap melaksanakan pekerjaan – pekerjaan berat seperti biasanya. Membuat mereka tidak menyadari mereka telah menjadi seseorang yang cacat. Membuat mereka kehilangan nyawa mereka secara perlahan dan menderita. Semua itu, dilakukannya dengan senyuman, hanya untuk kepuasannya sendiri. Oh Tuhan harus seperti itukah dia?
Aku tak menyadari seseorang dibelakangku yang menyergapku secara tiba – tiba. Aku merasa pusing sejenak dan akhirnya hilnag kesadaran. Sebelum kesadaranku hilang, samar – samar aku mendengar teriakannya.
“ibu,,,ibu bangun Bu?”
“jadi ini ibumu?”
“ya”jawabnya lesu,
“jadikan dia donor” perintah seseorang.
Aku sadar sejenak, rupanya Tuhan memberiku kesempatan untuk dapat berbincang – bincang dengannya. Aku melihatnya menatapku nanar, matanya merah. “ibu”, panggilnya sedih. Hatiku miris mendengarnya. “maafkan aku bu, aku tak bisa melawan, aku tak bisa berbuat apa – apa”isaknya. “maafkan kau bu, aku tak bisa menyelamatkan nyawa orang, aku malah mengambilnya bu…maafkan aku bu”.
“nak” jawabku sedikit terbata bata. Aku merasakan nyeri di tenggorokanku. “kau anakku yang tersayang, anakku Reza,,,anak kebanggaanku, kembalilah nak…”.
3 hari kemudian,
Di sebuah surat kabar lokal, ada sebuah berita yang menjadi deadline besar – besar.
“Pratik Perdagangan Ginjal Ilegal Dibekuk”
Di sebuah sudut rumah yang kecil dan mungil, Reza duduk bersama Ria yang memanjakan seorang wanita 35 tahun. Wanita itu membelai kepala Reza, memandangi anak kesayangannya. Tatapan matanya mengiringi kepergian Reza dengaN borgol di tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini